Macetnya Kaderisasi Partai Politik
Partai politik pasti selalu dinamis, memiliki varian terbaru dalam menemukan bagaimana melihat kondisi zaman yang kekinian, serta bisa memberikan hal yang khusus dalam proses rekrutmen partai politik. Dalam proses kaderisasi yang berbeda cara pengelolaan dan manajerialnya. Tergantung partai politik melihat kondisi daerah masing-masing.
Partai politik dalam kaderisasi dan proses rekruitmen akan lebih masif ketika nantinya mendapatkan peluang untuk memiliki kursi yang lebih banyak untuk legislatif. Sebaliknya, seperti di daerah ketika kekurangan kursi, partai akan sangat mengkhawatirkan sebab akan berkurang agenda kaderisasi dan rekrutmen.
Faktor yang mempengaruhi bagaimana kekuatan elektoral partai di daerah tergantung sejauh mana dia mendudukkan kadernya untuk maju di legislatif. Salah satu yang paling bisa memberikan pengaruh besar dalam proses kaderisasi adalah sayap-sayap partai politik. Mampu memberikan perhatian khusus kepada anak muda untuk bisa bergabung di partai politik.
Berharap partai politik di Indonesia bisa membangun sistem kelembagaan agar sistem organisasi atau sistem kepartaian itu bisa menjadi matang. Mencapai tahapan itu, ada dinamika yang terjadi. Ada beberapa tantangan yang harus masyarakat maupun elit partai dan kader partai politik untuk dipecahkan. Frasa political klientelisme yang masih mendominasi dan mobilisasi elektoral di Indonesia.
Ketika kita melihat partai politik di Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan, kaderisasi maupun rekrutmen ada hal yang saling mengganjal satu sama lain. Apakah ini menjadi sebuah ancaman yang sangat berbahaya atau hanya sekedar macet atau ada perbaikan kedepan? Antara rekrutmen dan kaderisasi membutuhkan atau tidak perlu ada rekruitmen atau sudah cukup kaderisasi saja?
Lembaga Studi Kebijakan Publik (LSKP) kembali menggelar bincang-bincang policy brief, dengan tema,”Macetnya Kaderisasi Partai Politik Indonesia.” Sabtu, 24 April 2021. Menghadirkan Amul Hikmah Budiman, SS M.Si sebagai Direktur Eksekutif Saoroja Institute dan Ketua Banteng Muda Indonesia Kabupaten Maros, Andi Rahmat Hidayat selaku Dosen Fisip Unhas/Peneliti LSKP serta moderator M. Kafrawy Saenong S.Sos., M.Si. Policy brief dalam rangka pembuatan kertas kebijakan dengan kader-kader muda partai politik yang ada di Sulawesi Selatan.
Peran partai politik di Indonesia memiliki konteks politik klientelisme yang menjadi marginal dominan. Seperti ada aktor yang tidak berafiliasi secara langsung dengan partai yang melakukan praktek klientelisme. Politik klientelisme terjadi ketika adanya aktor-aktor yang memberikan dukungan kepada politisi, dengan harapan imbalan baik dalam imbalan untuk bantuan atau keuntungan material yang sifatnya profesional.
Lalu bagaimana partai politik melakukan proses rekrutmen?
Amul Hikmah Budiman mengatakan, idealnya partai politik haruslah bersifat responsif, inklusif dan terbuka oleh siapapun, terkhusus bagi anak muda. Namun, persoalan kita pada saat ini adalah keuntungan yang didapatkan oleh partai politik. Ketika kemudian punya potensi besar tapi tidak memiliki pengaruh ataupun modal ataupun kuasa relasi, ini sangat disayangkan.
“Bahwa sejatinya partai politik harus mengubah gayanya dan kita selalu berupaya dan berikhtiar untuk itu, membangun dan mengupayakan partai politik bisa hadir menjadi dengan gerakan-gerakan yang milenialisme dan digitalism atau digitalisasi politik. Politik harus mengubah era rekrutmen terbuka lebih responsif lebih inklusif yang betul-betul disampaikan secara terbuka. Serta menyampaikan nilai dan platform apa yang dibawa sampai ke publik supaya bisa melakukan rekrutmen secara lebih masif. Mengubah sesuai dengan kondisi kekinian zaman.”
Secara konseptual, rekrutmen dan kader partai politik dikategorikan dalam tiga yaitu pertama kaderisasi atau rekrutmen anggota partai politik atau relawan, kedua rekrutmen pengurus dan anggota partai politik, dan ketiga adalah partai melakukan rekrutmen untuk menyediakan colon-calon pejabat publik yang akan didudukkan pada lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif.
Andi Rahmat Hidayat menambahkan, politikal klientelism yang mendominasi politik elektronik kita yang berimbas kepada partai politik. Misalnya kita ambil satu contoh bagaimana partai politik melakukan rekrutmen untuk melahirkan kandidat untuk menduduki jabatan itu. Baik itu lembaga yudikatif maupun lembaga legislatif. Ada istilah lumrah yang disebut di berbagai media maupun di warung-warung kopi. Istilah orang parpol menyebutnya sebagus rekruitmen kader eksternal.
Fenomena rekrutmen kader eksternal ini bisa dilakukan oleh partai meskipun misalnya pengurus tinggal di kabupaten. Misalnya ada anggota atau pengurus partai politik tertentu yang punya kapabilitas untuk maju. Tapi pada prosesnya kemudian keputusan pusat, DPD pusat itu menganulir usulan dari bawah dan mengambil kader eksternal itu tadi, yang bukan merupakan afiliasi langsung pada partai politik yang bersangkutan. Itu merupakan contoh empiris dari politik klientelisme, karena keputusan-keputusan strategi partai politik itu masih didominasi oleh elit-elit partai politik. Tanpa mengindahkan aspirasi dari bawah. Sejatinya misalnya kita lihat partai tata kelola politik modern di negara-negara yang demokrasinya advance. Kita melihat bagaimana partai politik itu tidak bersifat prakualifikasi, hanya ketua partai yang kemudian mendominasi power disitu. Dan keputusan-keputusan strategis partai politik itu memang diambil secara demokratis.
“Sayangnya di Indonesia evoria dan karakteristik partai politik di tahun 1955 zaman Soekarno sampai sekarang tidak berubah. Karakteristiknya masih sangat personifikasi. Masih sangat bergantung kepada ketokohan-ketokohan partai, padahal partai yang kuat harus dibangun atau sangat ditentukan dengan kesadaran ideologi para anggota partai politik dan pemilihnya. Sehingga ada sistem yang dibangun disitu. Tapi yang terjadi adalah fenomena partai politik kita sampai sekarang partai politik itu lemah dari ideologi platform. Dia punya platform ideologi yang jelas untuk membangun publik. Sehingga terkesan kita bingung melihatnya. Sehingga yang muda-muda dan lagi-lagi political klientelisme,” ujar Rahmat.
Bentuk yang nyata antara proses rekrutmen dalam digitalisasi dan milenialisme dari gerakan politik yang kita bangun dengan mengutamakan nilai ideologi pancasila. Melalui gerakan podcast, gerakan milenial, turun ke publik dengan membawa konten yang menarik.
Kolaborasi, strategi partai atau organisasi sangat diperlukan dengan menciptakan proses kaderisasi yang semakin baik. Partai politik punya keinginan untuk memenangkan partai politik elektoral. Sehingga dibutuhkan dukungan politik untuk menguasai sisi legislatif atau baik bupati maupun presiden. Sementara market mobilisasi elektoral dilakukan dengan metode membentuk relasi klientalistik, untuk membangun kelembagaan partai politik yang baik harus dimulai dari elit partai politik itu sendiri.
Perlu meningkatkan kepercayaan publik terhadap partai politik sebab salah satu jembatan untuk menghadirkan dan menyampaikan aspirasi masyarakat. Kedepan perlu ada dukungan terhadap bentuk kaderisasi yang inklusif, responsif dan terbuka serta dilengkapi dengan digitalisasi. Serta adanya kesamaan tujuan dalam pemilihan umum (pemilu) seperti pada pemilu serentak 2024 nantinya.
Lembaga LSKP membersamai kader-kader muda partai politik. Dimana partai politik ini tidak berjalan sendiri, sehingga bisa semakin responsif, Impossible dan terbuka bagi semua kalangan. Pernyataan yang disampaikan bisa didengar oleh elit partai politik dimasa sekarang.
Komentar
Posting Komentar